Rabu, 14 Maret 2018

Rumah Adat Provinsi Jambi

Rumah Panggung Kajang Leko-Rumah Adat Provinsi Jambi


Rumah Panggung Kajang Leko-Rumah Adat Provinsi Jambi 

Jambi merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di bagian tengah pesisir pulau Sumatera. Jambi merupakan kota yang memiliki kebudayaan melayu, hal ini terlihat dari bangunan-bangunan yang berdiri di kota Jambi, salah satunya adalah rumah adat Jambi (kajang leko).

Rumah kajang leko merupakan rumah adat yang berasal dari provinsi Jambi. Rumah kajang leko adalah salah satu rumah panggung di Indonesia yang terbuat dari kayu. Berbeda dengan rumah adat Papua, rumah kajang leko memiliki bentuk persegi panjang dengan ukuran yang beragam. Keunikan rumah panggung ini terletak pada konstruksi bangunan yang memiliki seni ukiran.

Rumah panggung kajang leko memiliki konstruksi bubungan atap rumah melengkung ke atas menyerupai perahu yang terbuat dari anyaman ijuk. Bubungan ini dinamakan jerambah atau ada juga yang menyebutnya dengan lipat kajang. Bagian dinding rumah kajang leko terbuat dari kayu dengan hiasan ukiran yang cantik.
Berdasarkan Fungsinya Rumah kajang leko terbagi menjadi 8 ruangan 
  1. Ruangan pertama adalah jogan, ruangan ini berfungsi sebagai tempat istirahat untuk anggota keluarga, selain itu jogan juga digunakan sebagai tempat menyimpan air.
  2. Ruangan kedua bernama serambi depan yang difungsikan untuk menerima tamu, namun hanya tamu laki-laki yang ditempatkan di ruangan ini.
  3. Ruangan ketiga bernama serambi dalam, ruangan ini digunakan sebagai tempat tidur untuk anak laki-laki.
  4. Ruang keempat bernama amben melintang, ruangan ini dikhususkan sebagai kamar pengantin.
  5. Ruang kelima bernama serambi belakang, ruangan ini adalah kamar tidur bagi anak-anak perempuan yang belum menikah.
  6. Ruang keenam bernama laren, ruangan ini digunakan untuk menerima tamu perempuan, atau kebalikan dari serambi depan.
  7. Ruang ketujuh bernama garang, ruangan ini digunakan untuk mengolah makanan dan juga sebagai tempat menyimpan bahan makanan.
  8. Ruang kedelapan sekaligus ruangan terakhir adalah dapur yang digunakan untuk memasak hidangan makanan khas Jambi.

1. Asal Usul
Masyarakat Marga Batin V atau yang biasa disebut Orang Batin adalah salah satu suku yang menetap di Jambi. Menurut cerita, Orang Batin berasal dari 60 tumbi (keluarga) yang pindah dari Koto Rayo, yaitu sebuah dusun yang terletak sekitar 2 km sebelah ilir Rantau Limau Manis. Ada dua versi cerita tentang penyebab kepindahan ke-60 tumbi tersebut dari Dusun Koto Rayo. Versi pertama mengatakan bahwa Poyang Depati yang merupakan pemimpin ke-60 keluarga itu mempunyai seorang putri yang cantik jelita. Namun, ia selalu menolak setiap ada lamaran yang datang kepada putrinya karena tak satu pun dari para pelamar tersebut yang berkenan di hatinya. Maka untuk menyelamatkan putrinya, Poyang Depati mengajak seluruh keluarga dan warganya untuk meninggalkan Dusun Koto Rayo (Djafar dan Anas Madjid, 1986: 14).

Versi kedua menyebutkan bahwa kepindahan ke-60 keluarga tersebut dari Koto Rayo karena mereka terserang wabah penyakit dan sering mendapat serangan dari Batang Hari. Mereka menyusuri Sungai Tabir hingga akhirnya tiba di ujung Muara Semayo. Di tempat itulah mereka mengadakan perjanjian akan menyebar ke beberapa tempat untuk membuat dusun. Payong Deputi bersama 16 keluarga lainnya membuat dusun di ujung Muara Semayo yang diberi nama Tanjung Muara Semayo yang saat ini dikenal dengan Kelurahan Rantau Panjang. Sementara 41 keluarga lainnya membuat dusun di sepanjang Sungai Tabir, yaitu Dusun Seling, Dusun Kapuk, Dusun Pulau Aro, dan Dusun Muara jernih (Djafar dan Madjid, 1986: 15). Kelima dusun tersebut kini masuk ke dalam wilayah Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi.

Salah satu dusun Orang Batin yang masih utuh hingga saat ini adalah Rantau Panjang. Masyarakat di dusun ini masih teguh memegang nilai-nilai budaya leluhur yang tercermin pada kesetiaan mereka melestarikan rumah Kejang Lako yang merupakan ciri khas dalam kesukuan mereka. Bangunan rumah ini disebut Kejang Lako karena kedua ujung bubungan sebelah atas melengkung sedikit ke atas sehingga menyerupai bentuk perahu  (http://www.balarpalembang.go.id/). Ada juga yang menyebut rumah ini sebagai Rumah Lamo karena menurut sejarah rumah ini sudah cukup tua, yaitu diperkirakan sudah berumur ratusan tahun (Djafar dan Madjid, 1986: 22).

Tipologi rumah ini adalah rumah panggung yang berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran panjang12 meter dan lebar 9 meter. Secara fungsional, rumah ini dibuat empat persegi panjang dengan tujuan untuk memudahkan dalam penyusunan ruang. Di dalam rumah ini terdapat berbagai etika dan tata kesopanan yang harus dijunjung tinggi, yang didasarkan pada ajaran-ajaran agama Islam. Ada penghormatan terhadap ninik mamak, jaminan perlindungan bagi anak-anak, hidup berkecukupan dalam keluarga, dan keharmonisan sosial dalam bermasyarakat (Irma Tambunan, Kompas 2007). Oleh karena itu, ruang anak gadis dengan pemuda harus diletakkan berjauhan. Ruang anak gadis biasanya terletak di bagian belakang, sedangkan ruang pemuda barada di bagian depan (Djafar dan Madjid, 1986: 22). Sementara alasan mengapa rumah ini dibuat dengan tipologi rumah panggung adalah karena faktor keamanan, yaitu aman dari serangan musuh yang bisa saja datang secara mendadak dan gangguan dari binatang-binatang buas (http://wisatamelayu.com).

Rumah-rumah Kejang Lako di Rantau Panjang dibangun dalam satu kompleks dengan berderet memanjang dan saling berhadap-hadapan. Jarak antara rumah yang satu dengan yang lainnya rata-rata 2 meter. Di bagian belakang rumah Rejang Lako juga dibuat sebuah bangunan khusus untuk menyimpan padi yang disebut dengan bilik atau lumbung. Bentuk dan tipologi bangunan ini hampir sama dengan bangunan Kejang Lako, yaitu bertipologi rumah panggung dan berbentuk empat persegi panjang. Hanya saja ukurannya lebih kecil daripada rumah tempat tinggal.

Dalam mendirikan rumah Kejang Lako agar menjadi sebuah tempat tinggal yang aman, kokoh, tahan lama, serta memiliki nilai-nilai estitika, maka ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan yaitu di antaranya pemilihan bahan, waktu dan tempat mendirikan rumah, dan teknik pembuatannya.
2. Struktur Bangunan 
Rumah Rumah Panggung Kajang Leko atau biasa disebut rumah Kajang Leko adalah sebuah desain hunian yang baru ditetapkan menjadi rumah adat Jambi setelah melalui proses pencarian yang panjang. Pada sekitar tahun 70 an, Pemerintah berencana membangun TMII dan mewajibkan setiap provinsi untuk mengirimkan desain ikon budayanya masing-masing. Gubernur Jambi pada masa itu kemudian berusaha mencari satu di antara banyak desain rumah adat yang ada di Jambi untuk ditetapkan sebagai ikon rumah adat Jambi. 
Pencarian yang dilakukan dengan sayembara bernama “Sepucuk Jambi Sembilan Lurah” ini kemudian menemukan rumah adat Kajang Leko sebagai rumah dengan desain tertua di Jambi. Rumah adat Kajang Leko sendiri adalah rumah berstruktur panggung yang dikonsep dari arsitektur Marga Batin. Rumah yang jika dilihat dari atas berbentuk persegi panjang dengan ukuran 12 x 9 meter ini, berdiri karena ditopang oleh 30 tiang berukuran besar yang terdiri dari 24 tiang utama dan 6 tiang pelamban. Karena merupakan rumah panggung, maka ia dilengkapi dengan tangga sebagai pintu masuk untuk menaiki rumah. Ada 2 tangga yang dimilliki rumah adat Jambi ini, satu terdapat di sebelah kanan sebagai tangga utama, dan satu lagi bernama tangga penteh.
Untuk bagian atap, konstruksi rumah adat Kajang Leko disebut memiliki keunikan tersendiri. Atapnya ini dinamai “Gajah Mabuk”, sesuai dengan nama pembuat desainnya. Bubungan atap Gajah Mabuk akan tampak seperti perahu dengan ujung atas yang melengkung. Lengkunan tersebut dinamakan potong jerambah atau lipat kajang. Sementara untuk bagian langit-langit, terdapat material yang bernama tebar layar. Tebar layar adalah semacam plafon yang memisahkan ruangan loteng dengan ruangan di bawahnya. Ruangan loteng sering digunakan sebagai ruang penyimpanan, oleh karenanya pada rumah adat ini terdapat tangga patetah yang digunakan untuk naik ke ruangan loteng.
3. Ciri Khas dan Nilai Filosofis
Jika kita perhatikan dengan seksama bagaimana bentuk rumah adat Jambi, kita akan bisa menemukan beberapa ciri khas yang menjadi keunikan desain rumah adat ini dibanding desain rumah adat Indonesia dari provinsi lainnya. Ciri khas rumah adat Kajang Leko ini antara lain: Berstruktur rumah panggung tapi memiliki 2 buah tangga. Bentuk atapnya yang seperti perahu dengan adanya cabang yang melengkung dan saling bertemu. Memiliki banyak ukiran pada dindingnya dengan beragam motif. Ukiran motif ikan melambangkan bahwa masyarakat Melayu adalah masyarakat nelayan, sementara motif flora seperti motif buah-buahan, bunga, dan daun melambangkan pentingnya peran hutan dalam kehidupan masyarakat Melayu Jambi.


Sumber : https://dtechnoindo.blogspot.co.id/2017/05/rumah-panggung-kajang-leko-rumah-adat.html

Rumah Adat Provinsi Riau

Macam-macam Rumah Adat Riau berserta Penjelasan dan Asal-Asulnya



RUMAH ADAT RIAU sangat identik dengan budaya Melayu, baik dilihat dari sisi sejarah, filosofi, arah hadap, dan ragam hiasnya. 
Masing-masing daerah di Riau mempunyai nama dan keunikannya rsendiri, misalnya di Kuantan Singingi, namanya Gajah Menyusu, di Kabupaten Kampar (Bangkinang) nama rumah adatnya Lancang / Pencalang / ataupun Rumah Lontiok begitu juga rumah adat Pekanbaru, Rumah adat Pelalawan dan Rumah Adat Melayu Riau lainnya. 
Secara umum, bentuk rumah tradisional daerah Riau adalah rumah panggung yang berdiri di atas tiang dengan bangunan persegi panjang. Hal itu untuk menghindari serangan binatang buas dan menghindari banjir. Di samping itu ada kebiasaan dari masyarakat untuk menyimpan hewan ternak di kolong rumah mereka. Balok penumpu untuk dinding bagian luar melengkung ke arah atas dan terkadang dibubuhi ukiran pada sudut-sudutnya. Dari sejumlah bentuk rumah, semuanya hampir sama, baik tangga, pintu, dinding, susunan ruangannya identik.

Ada  4 jenis rumah adat Melayu Riau:
  1. Rumah Melayu Atap Lontik
  2. Rumah Adat Salaso Jatuh Kembar / Balai Selaso Jatuh
  3. Rumah Melayu Lipat Kajang 
  4. Rumah Melayu Atap Limas Potong

rumah adat melayu kepulauan riau




apa nama rumah adat melayu riau dan keterangannya


bentuk rumah adat yang ada di provinsi riau






Rumah Melayu Atap Lontik



Rumah Lontik (lentik) atau sering disebut juga Rumah Lancang atau Pencalang karena rumah ini bentuk atapnya melengkung ke atas dan agak runcing seperti tanduk kerbau, sementara dindingnya miring keluar dengan hiasan kaki dinding mirip seperti perahu atau lancang.
Rumah ini sebagai simbol penghormatan kepada Tuhan dan terhadap sesama. Rumah lontik diduga terpengaruh dari kebudayaan Minangkabau karena kabanyakan terdapat di daerah yang berbatasan dengan Sumatera Barat.
Tangga rumah lontik ini biasanya ganjil, bahkan rumah lontik beranak tangga lima, Hal ini ada kaitannya dengan ajaran islam yakni rukun islam lima.

Asal Usul Rumah Lontik / Lancang

Rumah Lontik merupakan nama salah satu Rumah tradisional masyarakat Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, Indonesia. Selain nama Rumah Lontik, Rumah adat Riau yang satu ini juga dikenal dengan sebutan Rumah Lancang atau Pencalan.
Disebut Lancang atau Pencalang karena bentuk hiasan kaki dinding depannya mirip perahu, bentuk dinding Rumah yang miring keluar seperti miringnya dinding perahu layar mereka, dan jika dilihat dari jauh bentuk Rumah tersebut seperti Rumah-Rumah perahu (magon) yang biasa dibuat penduduk.
Sedangkan nama Lontik dipakai karena bentuk perabung (bubungan) atapnya melentik ke atas. Rumah Lancang merupakan Rumah panggung. Tipe konstruksi panggung dipilih untuk menghindari bahaya serangan binatang buas dan terjangan banjir.
Di samping itu, ada kebiasaan masyarakat untuk menggunakan kolong rumah sebagai kandang ternak, wadah penyimpanan perahu, tempat bertukang, tempat anak-anak bermain, dan gudang kayu, sebagai persiapan menyambut bulan puasa.
Selain itu, pembangunan Rumah berbentuk panggung sehingga untuk memasukinya harus menggunakan tangga yang mempunyai anak tangga berjumlah ganjil, lima, merupakan bentuk ekspresi keyakinan masyarakat.
Dinding luar Rumah Lancang seluruhnya miring keluar, berbeda dengan dinding dalam yang tegak lurus. Balok tumpuan dinding luar depan melengkung ke atas, dan, terkadang, disambung dengan ukiran pada sudut-sudut dinding, maka terlihat seperti bentuk perahu.
Balok tutup atas dinding juga melengkung meskipun tidak semelengkung balok tumpuan. Lengkungannya mengikuti lengkung sisi bawah bidang atap. Kedua ujung perabung diberi hiasan yang disebut sulo bayung.
Sedangkan sayok lalangan merupakan ornamen pada keempat sudut cucuran atap. Bentuk hiasan beragam, ada yang menyerupai bulan sabit, tanduk kerbau, taji dan sebagainya. Keberadaan Rumah Lancang, nampaknya, merupakan hasil dari proses akulturasi arsitektur asli masyarakat Kampar dan Minangkabau.
Dasar dan dinding Rumah yang berbentuk seperti perahu merupakan ciri khas masyarakat Kampar, sedangkan bentuk atap lentik (Lontik) merupakan ciri khas arsitektur Minangkabau. Proses akulturasi arsitektur terjadi karena daerah Kampar merupakan alur pelayaran, Sungai Mahat, dari Lima Koto menuju wilayah Tanah Datar di Payakumbuh, Minangkabau.
Daerah Lima Koto mencakup Kampung Rumbio, Kampar, Air, Tiris, Bangkinang, Salo, dan Kuok. Oleh karena Kampar merupakan bagian dari alur mobilitas masyarakat, maka proses akulturasi merupakan hal yang sangat mungkin terjadi.
Hasil dari proses akulturasi tersebut nampak dari keunikan Rumah Lancang yang sedikit banyak berbeda dengan arsitektur bangunan di daerah Riau Daratan dan Riau Kepulauan.




Rumah Adat Salaso Jatuh Kembar


RUMAH SELASO JATUH KEMBAR adalah bangunan seperti rumah adat tapi fungsinya bukan untuk tempat tinggal melainkan untuk musyawarah atau rapat secara adat. Rumah Selaso Jatuh Kembar sering disebut juga dengan nama Balai Salaso Jatuh oleh warga melayu Riau.
Sesuai dengan fungsinya bangunan ini mempunyai macam-macam nama antara lain Balairung Sari, Balai Pengobatan, Balai Kerapatan dan lain-lain.

Bangunan adat ini hanya tinggal beberapa rumah saja karena didesa-desa sekarang bila ingin melakukan musyawarah dilakukan di rumah Penghulu, sedangkan yang menyangkut keagamaan dilakukan di masjid.

Ruangan rumah ini terdiri dari ruangan besar untuk tempat tidur. ruangan bersila, anjungan dan dapur. Rumah adat ini dilengkapi pula dengan Balai Adat yang dipergunakan untuk pertemuan dan musyawarah adat.

Rumah tradisional masyarakat Riau pada umumnya adalah rumah panggung yang berdiri diatas tiang dengan bentuk bangunan persegi panjang. Dari beberapa bentuk rumah ini hampir serupa, baik tangga, pintu, dinding, susunan ruangannya sama, dan memiliki ukiran melayu seperti selembayung, lebah bergayut, pucuk rebung dll. Selaso jatuh kembar sendiri bermakna rumah yang memiliki dua selasar (selaso, salaso) yang lantainya lebih rendah dari ruang tengah.
Asal usul Rumah Selaso Jatuh Kembar
Pada tahun 1971, pemerintah pusat hendak membangun TMII (Taman Mini Indonesia Indah) dan tiap-tiap daerah harus menentukan satu jenis rumah adat untuk dibuatkan Anjungan rumah adat sebagai representasi resmi rumah adat di daerah propinsi tersebut.
Saat itu Gubernur Riau adalah Arifin Ahmad membentuk tim 9 yang terdiri dari budayawan dan pemikir Melayu. Tim 9 ini bertugas untuk mendesain dan membuat Rumah Adat Riau dengan melakukan riset keliling Riau.

Kemudian lahirlah sebuah arsitektur rumah adat Riau dengan nama Selaso Jatuh Kembar. Kemudian Rumah Selaso Jatuh Kembar dipopulerkan dan ditetapkan oleh Gubernur Riau Imam Munandar sebagai Rumah Adat kebudayaan masyarakat Riau.

Komponen Yang Dimiliki Oleh Rumah Selaso Jatuh kembar
Rumah Adat Melayu Riau Selaso Jatuh Kembar saat ini lebih banyak digunakan sebagai Balai Pertemuan, oleh karna itu tidak lagi dapat dikategorikan sebagai rumah tinggal.

Bangunan ini memiliki ciri khas Selasar yang lebih rendah dibandingkan ruang tengah sebagai tempat berkumpul sehingga mendapatkan julukan Selasar yang jatuh (turun), selain itu setiap komponen arsitektural bangunan rumah adat Melayu Riau memiliki nilai yang lebih dari sekedar komponen bangunan saja, tetapi juga memiliki arti dan filosofi yang mendalam.

Rumah Selaso Jatuh Kembar adalah sejenis bangunan berbentuk rumah (dilingkupi dinding, berpintu dan jendela) tapi fungsinya bukan untuk tempat tinggal melainkan untuk musyawarah atau rapat secara adat karena “rumah” ini tidak memiliki serambi atau kamar.

Jika dideskripsikan, denah rumah Selaso Jatuh Kembar hanya memiliki Selasar di bagian depan. Tengah rumah pada bagian tengah dengan bersekat papan antara selasar dan telo.

Kemudian bentuk rumah mengecil pada bagian telo yang berguna sebagai tempat makan, dll, pada bagian belakang terdapat dapur.

Balai Salaso Jatuh mempunyai selasar keliling yang lantainya lebih rendah dari ruang tengah, karena itu dikatakan Salaso Jatuh. Semua bangunan baik rumah adat maupun balai adat diberi hiasan terutama berupa ukiran.

Di puncak atap selalu ada hiasan kayu yang mencuat keatas bersilangan dan biasanya hiasan ini diberi ukiran yang disebut Salembayung atau Sulobuyung yang mengandung makna pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Selasar dalam bahasa melayu disebut dengan Selaso.

Selaso jatuh kembar sendiri bermakna rumah yang memiliki dua selasar (selaso, salaso) yang lantainya lebih rendah dari ruang tengah.

Dari keragaman bentuk rumah tradisional yang terdapat di Riau, ada kesamaan jenis dan gaya arsitektur.

Dari jenisnya, rumah tradisional masyarakat Riau pada umumnya adalah rumah panggung yang berdiri diatas tiang dengan bentuk bangunan persegi panjang.

Dari beberapa bentuk rumah ini hampir serupa, baik tangga, pintu, dinding, susunan ruangannya sama, dan memiliki ukiran melayu seperti selembayung, lebah bergayut, pucuk rebung dll.

Keumuman berikutnya terletak pada arah rumah tradisional masyarakat Riau yang dibangun menghadap ke sungai. Ini terjadi karena masyarakat tardisional Riau menggunakan sungai sebagai sarana transfortasi.

Maka tak heran jika kita akan menemukan banyak perkampungan masyarakat Riau terletak di sepanjang pinggiran sungai Siak, Mandau, Siak Kecil dan pada anak sungai di pedalam lainnya.

Karena tipographi pemukiman masyarakat Riau yang demikian, maka kita akan mendapati pangkalan tempat menambatkan perahu dan juga tempat mandi di muka rumah masing-masing.

Selain itu, hingga tahun 70-an, kampung-kampung tersebut tidak mengenal batas-batas tertentu, seperti halnya perkampungan masyarakat pantai.

Kampung-kampung mereka biasanya dinamai berdasarkan nama sungai atau tumbuhan yang terdapat di sana. Namun hari ini tentunya telah dibuatkan sarana adminstrasi seperti Balai Desa, dll dengan istilah “pemekaran”.  

Rumah Melayu Lipat Kajang
Nama rumah melayu Lipat Kajang diambil dari bentuk atap bangunannya. Bangunan in sudah sangat sulit ditemui di perkampungan sebagai tempat tinggal warga. arsitektur rumah ini hanya tinggal terlihat pada bangunan perkantoran yang baru dibangun oleh pemerintah dengan konsep bangunan arsitektur modern.
Rumah Tradisional Melayu Riau Atap Lipat Kajang dengan konsep bangunan arsitektur modern.
Jensi bangunan rumah adat melayu ini dapat dilihat pada rumah godang suku di Kenegerian Sentajo, di Kecamatan Kuantan Tengah, Kabupaten Kuantan Singingi, yang hingga kini masih terpelihara padahal usia bangunan ini sudah mencapai 2,5 abad.

Bentuk Rumah Adat Riau Lipat Kajang

Bentuk bumbung yang curam yang dipanggil “lipat kajang” dapat memudahkan curahan air hujan. Lantai dan dinding rumah yang diperbuat daripada anyaman peluhan adalah untuk memudahkan pengedaran udara dan untuk mengurangkam rasa bahang panas.

Rumah Tradisional Melayu yang awal yang digunakan oleh Melayu dipanggil “dangau” atau “teratak”. Bentuk rumah tradisi ini adalah ringkas. Pada masa dahulu, tiang Rumah Tradisional Melayu adalah bulat dan diperbuat daripada anak-anak pokok kayu.

Seluruh rumah diperbuat dari kayu dan bumbungnya daripada atap nipah atau rumbia. Bentuk Rumah Tradisional Melayu ini telah mengalami perubahan sedikit demi sedikit.

Bahan-bahan yang digunakan seperti kayu, atap nipah, atap rumbia, atap bertam, buluh berayam, pelupuh, kayu buluh atau batang nibung, telah digantikan dengan bahan-bahan lain seperti zing dan genting untuk bumbung dan semen serta batu bata.
Rumah Melayu Atap Limas Potong
Limas Potong adalah salah satu bentuk rumah tradisional masyarakat melayu Riau Kepulauan. Rumah Limas Potong  ini berbentuk rumah panggung dan memiliki ciri khas sebagaimana rumah tradisional di Sumatra pada umumnya.


Tinggi rumah ini sekitar 1,5 meter dari atas permukaan tanah. Dinding rumah terbuat dari susunan papan warna coklat, sementara atapnya berupa seng warna merah. Kusen pintu, jendela serta pilar anjungan depan rumah dicat minyak warna putih. dengan bagian atap menyerupai sebuah limas yang terpotong.

Jenis rumah adat melayu yang lain adalah rumah tradisional Belah Bubung. Kalau di Riau daratan, rumah tradisionalnya ada Rumah Lontik, dan Rumah Salaso Jatuh Kembar.

Bentuk Rumah Limas Potong
Rumah ini memiliki lima bagian utama, yaitu teras, ruang depan, tengah, belakang (tempat tidur), dan dapur. Bagian depan rumah digunakan untuk memajang foto-foto sejarah tentang rumah limas potong ini, ruang tengah berisi diorama pengantin khas Melayu, dan bagian belakang merupakan sebuah ruangan yang berisi tempat tidur berkelambu yang menyatu dengan dapur.


Peralatan dapur dan makan khas Melayu masih terawat dengan baik dan dipajang di bagian dapur rumah, seperti piring, sendok, panci, tungku kayu, beberapa tempayan, dan peralatan dapur lainnya. Pada zaman dahulu, salah satu tempayan yang berukuran besar itu ditaruh di luar rumah, yaitu di sebelah anak tangga bawah.

Tempayan itu berisi air yang digunakan setiap orang untuk mencuci kaki mereka setiap kali akan masuk ke dalam rumah. Seperti adat Melayu pada umumnya, setiap orang yang akan masuk ke dalam rumah harus melepas sepatu maupun sandal mereka terlebih dahulu, kemudian mencucinya dengan air bersih.

Rumah tradisional ini merupakan milik Haji Sain, salah satu penduduk Batam yang sudah mulai menempati rumah ini sejak November 1959. Rumah ini terletak di Kampung Melayu, RT 01 RW 08, Kel. Batu Besar, Nongsa Tak jauh dari pantai wisata Boneta.

Berada di tengah - tengah kebun kelapa nan rimbun, sangat kontras dengan rumah-rumah di sekitarnya yang lebih modern. Saat ini, keberadaaan rumah adat limas potong ini menjadi sulit untuk ditemukan di Riau Khususnya di Batam.

Karena alasan itu, rumah milik Haji Sain ini akhirnya dijadikan sebagai cagar budaya oleh pemerintah kota setempat. Setelah mengalami beberapa renovasi pada bagian rumah tanpa menghilangkan bentuk aslinya rumah adat limas potong ini diresmikan sebagai tempat wisata dan terbuka untuk umum pada November 2011.

Besar kecilnya rumah yang dibangun ditentukan oleh kemampuan pemiliknya, semakin kaya seseorang semakin besar rumahnya dan semakin banyak ragam hiasnya. Namun demikian,kekayaan bukan sebagai penentu yang mutlak.

Pertimbangan yang paling utama dalam membuat rumah adalah keserasian dengan pemiliknya. Untuk menentukan serasi atau tidaknya sebuah rumah, sang pemilik menghitung ukuran rumahnya dengan hitungan hasta, dari satu sampai lima.

Sumber :  http://rumahadatistiadat.blogspot.co.id/2017/08/macam-macam-rumah-adat-riau-berserta.html

Rumah Adat Provinsi Sumatra Barat

Rumah Adat Sumatera Barat : Struktur, Filosofi, Fungsi dan Keunikannya

Rumah Adat Sumatera Barat – Sumatera Barat adalah salah satu dari sekian banyak provinsi di Indonesia dengan menjadikan kota Padang sebagai ibu kotanya. Sesuai dengan namanya, provinsi tersebut terletak di pesisir barat pulau Sumatera. Dibagian sebelah barat provinsi ini terdapat sebuah kumpulan pulau-pulau kecil yang bernama Kepulauan Mentawai yang bahkan masih termasuk bagian dari wilayah Sumatera Barat.
Kebanyakan di Sumatera Barat ini dihuni oleh masyarakat Suku Minangkabau dan telah diyakini sebagai penduduk asli dan sekaligus mayoritas disana. Suku Minangkabau atau lebih dikenal dengan orang Minang, memiliki ikatan dengan suku Melayu yang kini memiliki berbagai budaya dan karakteristik yang unik. Tak hanya itu, ternyata penduduk disana terkenal dengan pandai berniaga, gemar merantau, dan pintar memasak.
Selain itu, terdapat banyak sekali keunikan yang menjadi ciri khas dari daerah tersebut, seperti: rumah adat, tarian, alat musik, makanan khas dan masih banyak lagi. Nah… kali ini kita akan membahas salah satu ikon budaya dari provinsi Sumatera Barat yaitu pada rumah adatnya. Agar lebih jelasnya lagi berikut penjelasan tentang rumah adat Sumatera Barat secara lengkap.

Rumah Adat Sumatera Barat

gambar rumah adat sumatera barat
Rumah Adat Sumatera Barat
Rumah adat Gadang atau Rumah Godang adalah nama bangunan khas yang sering kita jumpai di daerah Sumatera Barat. Bangunan adat tersebut juga sering disebut dengan nama lain oleh masyarakat setempat dengan nama Rumah Bagonjong dan ada juga yang menyebutnya dengan Rumah Baanjuang.
Bangunan dengan bentuk model seperti itu juga banyak kita jumpai di Negeri Sembilan atau Malaysia. Akan tetapi untuk semua daerah di Minangkabau yang boleh mendirikan rumah adat tersebut hanya pada kawasan yang sudah memiliki status sebagai nagari saja. Begitupun dengan sebaliknya, kawasan yang disebut dengan rantau, bangunan ini dulunya tidak ada yang didirikan oleh para perantau Minangkabau.

Struktur Rumah Adat Gadang

rumah adat minangkabau
Sisi dalam Rumah Adat Gadang
Seperti yang sudah disinggung pada bab sebelumnya, bangunan yang menjadi ikon atau ciri khas dari provinsi Sumatera Barat adalah Rumah Gadang. Bangunan adat ini merupakan rumah model panggung yang berukuran besar serta memiliki bentuk persegi panjang. Hampir sama dengan rumah adat di Indonesia pada umumnya, rumah adat Minangkabau ini terbuat dari dibuat dari beberapa material yang berasal dari alam. Misalnya pada tiang penyangga, dinding dan lantainya yaitu terbuat dari papan kayu dan juga bambu, sedangkan pada bagian atapnya yang berbentuk seperti tanduk kerbau ini terbuat dari ijuk.
Selain itu ternyata ada juga yang menyebutkan bahwa pada atap dari bangunan ini diibaratkan seperti bentuk kapal yaitu dengan ukuran kecil dibawah dan yang besar dibagian atas. Kemudian pada bagian atapnya juga mempunyai lengkung keatas yang kurang lebih seperti setengah lingkaran.
Meskipun rumah adat ini hampir 100% terbuat dari alam, namun arsitektur dari bangunan ini memiliki desain yang sangat bagus dan juga sangat kuat. Selain itu rumah adat dari Sumatera Barat ini ternyata memiliki desain yang tahan gempa yang sesuai dengan kondisi geografis didaerah tersebut yang sangat rawan dengan bencana gempa. Dengan desain yang  tahan terhadap gempa tersebut, pada rumah adat Gadang ini di salah satu tiangnya ada yang menancap di tanah.
Kemudian pada tiang yang lainnya dari rumah adat ini justru menumpang atau bertumpu pada batu-batuan di atas tanah. Sehingga dengan desain yang seperti itu, pada bangunan tersebut tidak akan tubuh meskipun terjadi gempa yang kuat. Tak hanya itu, pada setiap pertemuan antara tiang dan kaso besar pada rumah adat ini tidak disatukan dengan paku, melainkan menggunakan pasak yang terbuat dari kayu. Sehingga dengan teknik sambungan seperti itu bangunan tersebut akan bergerak dengan fleksibel meski terguncang dengan getaran gempa.
struktur rumah adat gadang
Bentuk Atap Rumah Adat Minangkabau
Kemudian ada setiap elemen dari bangunan rumah adat Gadang tersebut juga memiliki makna tersendiri. Ada beberapa unsur-unsur yang terdapat pada rumah adat Gadang ini diantaranya:
  • Gojong yaitu struktur pada atap dari rumah adat ini yang seperti tanduk kerbau.
  • Singkok, sebuah dinding yang berbentuk segitiga yang berada di bawah ujung bojong.
  • Pereng, yaitu rak yang ada di bawah singkok.
  • Anjuang, merupakan sebuah lantai yang mengambang.
  • Dindiang ari, merupakan sebuah dinding yang berada di bagian samping dari bangunan rumah adat ini.
  • Dindiang tapi, yakni sebuah dinding yang terletak di bagian depan dan belakang.
  • Papan banyak, fasad depan.
  • Papan sakapiang, adalah sebuah rak yang ada di pinggir rumah.
  • Salangko, yaitu merupakan sebuah dinding yang berada di bawah rumah.

Fungsi dan Keunikan Rumah Adat Gadang

Selain sebagai ikon budaya di Sumatera Barat, rumah adat Gadang hingga saat ini juga digunakan sebagai tempat tinggal oleh suku Minang dan juga sering untuk mengadakan upacara-upacara, pewarisan nilai-nilai adat dan  juga sering dipakai sebagai represensi dari budaya matrilineal. Tak hanya itu, ternyata rumah adat Gadang ini juga diparcayai sebagai tempat yang sangat suci oleh masyarakat Minangkabau.
gambar rumah garang
Bangunan Rangkiang yang Terletak di depan Rumah Adat Gadang
Untuk memenuhi fungsi tersebut, bangunan ini didesain sedemikian rupa yang sesuai dengan aturan-aturan adat yang berlaku sejak lama. Adapun beberapa aturan tersebut misalnya pada pembagian ruangan berdasarkan kegunaannya, misalnya:
  • Seluruh bagian di dalam rumah adat Gadang ini adalah ruangan lepas kecuali kamar tidur.
  • Jumlah kamar yang ada di dalam rumah tersebut bergantung pada jumlah perempuan yang tinggal disana.
  • Setiap perempuan yang sudah menikah berhak mendapatkan satu kamar.
  • Untuk perempuan tua dan yang masih anak-anak mendapatkan satu kamar yang terletak di dekat dapur.
  • Kemudian untuk gadis yang masih remaja mendapatkan satu kamar yang berada di ujung dekat dapur.
  • Pada halaman depan rumah terdapat 2 buah Rangkiang. Rangkiang yaitu bangunan yang biasanya digunakan untuk menyimpan padi dan beberapa bahan pangan lainnya.
  • Pada sayap kanan dan kiri dari bangunan tersebut terdapat sebuah ruangan anjung (dalam bahasa Minang disebut anjuang) yang digunakan sebagai tempat pengantin bersanding atau untuk penobatan kepala adat.
  • Disekitar rumah adat  Gadang ini biasanya terdapat sebuah surau kaum yang memiliki fungsi sebagai tempat untuk beribadah, pendidikan dan sekaligus untuk tinggal lelaki dewasa yang belum menikah dari keluarga tersebut.

Nilai Filosofi dan Ciri Khas Rumah Adat dari Sumatera

Pada umumnya Rumah Gadang ini dibangun diatas sebidang tanah milik suatu keluarga induk. Selain itu juga diwariskan secara turun temurun kepada kaum perempuan saja. Aturan tersebut memiliki filosofi bahwa derajat kaum wanita di Suku Minang ini sangatlah dijunjung tinggi.
Adapun beberapa ciri khas dari rumah adat Suku Minang ini antara lain:
Pada bentuk puncak selalu runcing dan tampak menyerupai dengan tanduk kerbau yang memiliki arti yaitu sebagai lambang kemenangan. Dengan bentuk yang seperti tanduk kerbau tersebut sering dikaitkan dengan kisah Tombo Alam Minangkabau, yaitu sebuah kisah yang menceritakan kemenangan adu kerbau antara orang Minang dengan orang Jawa. Pada bagian atap dari rumah adat Minangkabau ini terbuat dari ijuk dan bisa bertahan hingga sampai puluhan tahun.
Rumah adat ini termasuk dalam model panggung, oleh karena itu untuk memasuki bangunan tersebut kita harus menaiki tangga kecil dibagian depan. Tangga pada rumah adat Minang ini hanya terdapat satu buah saja, dan tangga tersebut merupakan simbol bahwa penduduk Minang masyarakat yang religius.
ukiran pada rumah adat gadang
Motif Ukiran pada Rumah Adat Gadang
Pada dinding dari bangunan ini biasanya dihiasi dengan beragam motif ukiran yang diberi warna kuning, merah,dan hitam. Adapun pada ukiran tersebut biasanya juga terdapat berbagai macam motif flora dan fauna, seperti tumbuhan yang merambat, akar berdaun dan lain sebagainya. Dengan banyaknya motif-motif tersebut diyakini melambangkan bahwa penduduk Minang adalah masyarakat yang dekat dengan alam.

Sumber :  https://balubu.com/rumah-adat-sumatera-barat/

Rumah Adat Provinsi Sumatra Utara

Rumah Adat Sumatera Utara Lengkap, Gambar dan Penjelasannya


Rumah Adat Sumatera Utara Lengkap, Gambar dan Penjelasannya - Di bidang seni rupa Provinsi Sumatera Utara juga memiliki beberapa hal yang menonjol terutama dari hasil arsitektur rumah adat, seni pahat, dan seni ukir, serta hasil seni kerajinan. Provinsi ini memiliki beberapa variasi bentuk dan ornamen. Di provinsi ini terdapat rumah adat Karo, Simalungun, Batak Toba, Mandailing, Melayu, dan Nias. 
Perbedaan rumah adat Batak Toba, Karo, Simalungun, dan Nias terletak pada bentuk arsitektur dan ragam hiasnya. Rumah adat Simalungun pada dasarnya hampir sama dengan rumah adat Batak Toba, karena daerahnya terletak antara permukiman suku Batak Karo dan suku Batak Toba. Di bidang arsitektur Simalungun mempunyai ciri khas pada bangunannya, yaitu konstruksi bagian bawah atau kaki bangunan selalu berupa susunan kayu yang masih bulat-bulat atau gelondongan, dengan cara silang menyilang dari sudut ke sudut. Ciri khas lainnya adalah bentuk atap berupa limasan berbebentuk kepala kerbau lengkap dengan tanduknya.

gambar rumah adat suku batak sumatera utara
Rumah adat Siwaluh Jabu dan rumah adat Batak Karo bertiang tinggi. Satu rumah biasanya dihuni oleh satu keluarga sampai delapan keluarga besar Batak. Di dalam rumah tidak ada sekatan, satu ruangan lepas. Namun, pembagian ruangan tetap ada, yaitu dibatasi oleh garis-garis adat istiadat yang kuat, meskipun garis itu tidak terlihat. Tiap-tiap ruangan mempunyai nama dan siapa yang harus menempati ruangan tersebut, telah ditentukan pula oleh adat.
Urutan ruangan dalam rumah Siwaluh Jabu sebagai berikut:
  1. Jabu Bena Kayu, yaitu ruangan didepan sebelah kiri yang didiami oleh pihak marga tanah dan pendiri kampung. la merupakan pengulu atau pemimpin rumah tersebut. Ruangan berikutnya yaitu Jabu Sedapur Bena Kayu. Ruangan ini menyatu dengan jabu bena kayu yang juga dinamai Sinenggel-ninggel. Ruang ini didiami oleh pihak Senina, yaitu saudara-saudaranya yang bertindak sebagai wakil pemimpin rumah tersebut. Sedapat artinya satu dapur karena setiap dua ruangan di depannya terdapat dapur yang dipakai untuk dua keluarga
  2. Jabu Ujung Kayu, dinamai pula Jabu Sungkun Berita. Ruangan ini didiami oleh anak Beru Toa yang bertugas memecahkan setiap masalah yang timbul.
  3. Jabu Sedapur Ujung Kayu, yaitu ruangan sedapur dengan Jabu Ujung Kayu yang dinamai Jabu Silengguri. Jabu ini didiami oleh anak beru dari Jabu Sungkun Berita. 
  4. Jabu Lepan Bena Kayu, yaitu ruangan yang terletak berseberangan dengan Jabu Bena Kayu. Ruangan yang dinamai Jabu Simengaloken ini didiami oleh Biak Senina.
  5. Jabu Sedapur Lepan Bena Kayu, yaitu ruangan yang sedapur dengan Jabu Lepan Bena Kayu. Ruangan ini didiami oleh Senina Sepemeren atau Separiban.
  6. Jabu Lepan Ujung Kayu didiami oleh Kalimbuh yaitu pihak pemberi gadis. Ruangan ini disebut Jabu Silayari.
  7. Jabu Sedapur Lepan Ujung Kayu, yaitu ruangan yang sedapur dengan Jabu Lepan Ujung Kayu. Ruangan ini didiami oleh Jabu Simalungun Minum, Puang Kalimbuh yaitu Kalimbuh dari Jabu Silayari. Kedudukan Kalimbuh ini cukup dihormati di dalam adat.
Umumnya di setiap rumah adat Siwaluh Jabu terdapat empat buah dapur yang masing-masing digunakan oleh dua keluarga, yaitu oleh jabu-jabu yang bersebelahan. Tiap dapur terdiri atas lima buah batu yang diletakkan sebagai tungku berbentuk dua segitiga bertolak belakang. Segitiga tersebut melambangkan rukuh sitelu atau singkep sitelu yaitu tali pengikat antara tiga kelompok keluarga, kalimbuhu, senina, dan anak beru atau Sebayak.
Dinding rumah Siwaluh Jabu dibuat miring, berpintu, dan berjendela yang terletak di atas balok keliling. Atap rumahnya berbentuk segitiga dan bertingkat tiga yang juga melambangkan rukut-sitelu. Pada setiap puncak dan segitiga-segitiga terdapat kepala kerbau yang melambangkan kesejahteraan bagi keluarga yang mendiaminya. Pinggiran atap sekeliling rumah di semua arah sama, menggambarkan bahwa penghuni rumah mempunyai perasaan senasib sepenanggungan. 
Bagian atap yang berbentuk segitiga terbuat dari anyaman bambu disebut lambe-lambe. Biasanya pada lambe-lambe dilukiskan lambang pembuat dari sifat pemilik rumah tersebut, dengan warna tradisional merah, putih, dan hitam. Hiasan lainnya adalah pada kusen pintu masuk. Biasanya pada kusen pintu masuk tersebut dihiasi dengan ukiran telur dan panah. Tali-tali pengikat dinding yang miring disebut tali ret-ret dan terbuat dan ijuk atau rotan. Tali pengikat ini membentuk pola seperti cicak yang mempunyai dua kepala saling bertolak belakang. Maksudnya ialah cicak dikiaskan sebagai penjaga rumah, dan dua kepala saling bertolak belakang melambangkan semua penghuni rumah mempunyai peranan yang sama dan saling menghormati.

Rumah adat Siwaluh Jabu selalu bertangga dengan jumlah anak tangga ganjil dan dihuni oleh keluarga sebagai tempat tidur anak-anak dengan orang tuanya sampai berumur empat belas tahun. Bagi anak laki-laki dewasa atau bujangan tidur di tempat lain yang disebut Jambur. Jambur juga digunakan untuk tempat menginap tamu laki-laki. Jambur sebenarnya lumbung padi yang dipergunakan untuk tidur, bermusyawarah, dan istirahat para perempuan dan laki-laki.
Rumah adat Batak Toba yang disebut Rumah Bolon, berbentuk empat persegi panjang dan kadang-kadang dihuni oleh lima sampai enam keluarga batih. Untuk memasuki rumah adat ini seseorang harus menaiki tangga yang terletak di tengah-tengah rumah, dengan jumlah anak tangga yang ganjil. Bila hendak masuk rumah Batak Toba, seseorang harus menundukkan kepala agar tidak terbentur pada balok yang melintang. Hal ini diartikan tamu harus menghormati si pemilik rumah. Tinggi lantai rumah kadang-kadang sampai 1,75 meter di atas tanah dan bagian bawah dipergunakan untuk kandang babi, ayam, dan sebagainya. Dahulu pintu masuknya mempunyai dua macam daun pintu, yaitu daun pintu yang horizontal dan vertikal. Akan tetapi, sekarang daun pintu yang horizontal tidak dipakai lagi.
Ruangan dalam rumah adat merupakan ruangan terbuka tanpa kamar-kamar, walaupun di rumah adat tersebut berdiam lebih dari satu keluarga. Namun demikian, bukan berarti tidak ada pembagian ruangan, karena dalam rumah adat ini pembagian ruangan dibatasi oleh adat mereka yang kuat. Ruangan di belakang sudut sebelah kanan disebut Jabu Bong. Ruangan tersebut ditempati oleh kepala rumah atau por Jabu Bong beserta istri dan anak-anak yang masih kecil. Ruangan ini dahulu dianggap paling keramat. Di sudut kiri berhadapan dengan Jabu Bong disebut Jabu Soding. Ruangan ini diperuntukkan bagi anak perempuan yang telah menikah, tetapi belum mempunyai rumah sendiri. Di
sudut kiri depan disebut Jabu Suhat. Ruangan tersebut digunakan untuk anak laki-laki tertua yang sudah kawin. Sementara itu, di seberang ruang Jabu Suhat terdapat Tampar Piring yang diperuntukkan bagi tamu.
Jika anggota keluarganya banyak, dibuatlah tempat di antara dua ruang atau jabu yang berdempetan sehingga ruangan bertambah dua lagi dan ruangan ini disebut Jabu Tonga-ronga ni jabu rona. Tiap keluarga mempunyai dapur sendiri yang terletak di belakang rumah, berupa bangunan tambahan. Di antara dua deretan ruangan yaitu di tengah-tengah rumah merupakan daerah netral yang disebut telaga dan berfungsi sebagai tempat bermusyawarah.

gambar rumah adat nias sumatera utara
Rumah adat di Nias dibuat dengan ukuran lebih kecil dari rumah-rumah adat aslinya. Bentuk rumah adat ini mewakili rumah adat dari Nias Selatan. Rumah yang berbentuk empat persegipanjang dan berdiri di atas tiang ini, menyerupai bentuk perahu. Dengan bentuk rumah seperti perahu ini diharapkan bila terjadi banjir maka rumah dapat berfungsi sebagai perahu. Untuk memasuki rumah adat ini terlebih dahulu harus menaiki tangga dengan anak tangga yang selalu ganjil lima sampai tujuh buah. Ada dua macam pintu, yaitu seperti pintu rumah biasa dan pintu horizontal yang terletak di pintu rumah dengan daun pintu membuka ke atas. Pintu masuk seperti ini mempunyai maksud untuk menghormati pemilik rumah agar musuh sukar menyerang ke dalam rumah bila terjadi peperangan.
Ruangan pertama dalam rumah adat Nias ini disebut tawalo. Tawalo berfungsi sebagai ruang tamu, tempat bermusyawarah, dan tempat tidur para jejaka. Di bagian ruang tawalo sebelah depan terdapat lantai bertingkat lima. Lantai pertama untuk tempat duduk rakyat biasa. Lantai kedua atau bule digunakan untuk tempat duduk tamu. Lantai ketiga yang disebut dane-dane digunakan untuk tempat duduk tamu agung. Lantai keempat yang dinamakan salohate digunakan untuk tempat sandaran tangan bagi tamu agung. Lantai kelima yang disebut harefa digunakan untuk menyimpan barang-barang tamu. Di belakang ruang tawalo adalah ruang forema. Ruangan ini digunakan untuk keluarga dan tempat untuk menerima tamu wanita serta ruang makan tamu agung. Di ruang ini juga terdapat dapur. Di samping dapur tersebut terdapat ruang tidur. Rumah adat Nias biasanya diberi hiasan berupa ukiran-ukiran kayu yang sangat halus dan diukirkan pada balok-balok utuh.

gambar rumah adat melayu sumatera utara
Bentuk bangunan dari suku Melayu berupa tempat peristirahatan atau pesanggrahan yaitu suatu bangunan terbuka atau dengan lantai berwarna putih dan mempunyai empat jenjang. Atapnya bersusun enam yaitu tiga susun di bawah dan tiga susun pada puncaknya. Karena lantainya membentuk segi lima, bangunan ini mempunyai lima buah tiang. Fungsinya sebagai tempat istirahat atau berangin-angin raja-raja serta para petani raja sehingga bangunan ini tidak berdinding sama sekali.

Sumber : https://www.senibudayaku.com/2017/11/rumah-adat-sumatera-utara-lengkap.html

Rumah Adat Provinsi Aceh

Rumah Adat Aceh, Sejarah, Ciri Khas dan Penjelasan Maknanya

gambar rumah adat nanggroe aceh darussalam dan pengertiannya
RUMAH ADAT ACEH atau sering disebut dengan nama Rumoh Aceh adalah bentuk rumah tinggal tradisional orang Aceh pada masa lalu. 
Saat ini, Rumoh Aceh sudah semakin langkah, namun dapat dilihat di komplek Kantor Museum Aceh di Kota Banda Aceh, dan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, serta Rumah Cut Nyak Dhien yang ada di Desa Lampisang, 10 km dari pusat Kota Banda Aceh. 
Jika Anda berkunjung ke Rumah Aceh yang terletak di komplek Museum Aceh banyak terdapat barang-barang peninggalan tempo dulu yang sering digunakan oleh orang Aceh diantaranya pedeung on jok, jingki, guci, Berandam atau Tempat menyimpan padi dll. Jika anda ke Banda Aceh jangan lupa untuk datang mengunjungi dan saksikan keadaan rumah Adat Aceh tempo dulu. Ciri khas rumah adat Aceh ini terdiri dari 44 tiang dan mempunyai 2 tangga depan dan belakang.

1.Asal-Usul Rumah Adat Aceh

Kepercayaan individu atau masyarakat yang hidup mempunyai pengaruh signifikan terhadap bentuk arsitektur bangunan, rumah, yang dibuat. Hal ini dapat dilihat pada arsitektur Rumoh Aceh, Provinsi, Nanggrou Aceh Darussalam. Pada umumnya Rumoh Aceh merupakan rumah panggung dengan tinggi tiang antara 2,50 – 3 meter, terdiri dari tiga atau lima ruang, dengan satu ruang utama yang dinamakan rambat. Rumoh dengan tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan Rumoh dengan lima ruang memiliki 24 tiang. Modifikasi dari tiga ke lima ruang atau sebaliknya bisa dilakukan dengan mudah, tinggal menambah atau menghilangkan bagian yang ada di sisi kiri atau kanan rumah. Bagian ini biasa disebut seramoe likot atau serambi belakang dan seramoe reunyeun atau serambi bertangga, yaitu tempat masuk ke Rumah yang selalu berada di sebelah timur. Pintu utama Rumoh Aceh tingginya selalu lebih rendah dari ketinggian orang dewasa. Biasanya ketinggian pintu ini hanya berukuran 120-150 cm sehingga setiap orang yang masuk ke Rumoh Aceh harus menunduk. Namun, begitu masuk, kita akan merasakan ruang yang sangat lapang karena di dalam rumah tak ada perabot berupa kursi atau meja. Semua orang duduk bersila di atas tikar ngom (dari bahan sejenis ilalang yang tumbuh di rawa) yang dilapisi tikar pandan. Rumoh Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi keyakinan terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Oleh karena itu, melalui Rumoh Aceh kita dapat melihat budaya, pola hidup, dan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat Aceh.
Bagian-bagian dari Rumoh Aceh
Pada bagian bawah rumah disebut yubmoh yang dapat dipergunakan untuk menyimpan berbagai macam benda, seperti Jeungki (alat penumbuk padi) berandang (tempat menyimpan padi) dan juga difungsikan sebagai tempat bermain anak-anak dan juga sering digunakan tempat ayunan anak-anak bayi.
  • Ruangan depan atau disebut dengan seramoe Keu (serambi depan), ruangan ini polos tanpa kamar yang berfunsi sebagai ruang tamu laki-laki, ruang belajar mengaji anak laki-laki pada malam atau siang hari juga tempat tidur tamu laki-laki. dan disaat-saat tertentu seperti upacara perkawinan ruangan ini juga berfungsi sebagai tempat jamuan makan bersama.
  • Ruangan tengah atau seuramoe teungoh ini bagian inti dari rumoh Aceh dan sedikit lebih tinggi dari seramoe keu ini disebut rumoh inong (rumah induk) dan tempat ini dianggap suci karena bersifat sangat pribadi. Diruangan tengah ini terdapat dua bilik atau kamar yang berhadapan. Kedua kamar ini untuk tempat tidur kepala keluarga atau pemilik rumah, bila ada anak perempuan yang baru kawin maka dia akan menempati kamar ini dan orang tua akan pindah ke anjong.
  • Ruangan Belakang atau disebut dengan seramoe Likoet (serambi belakang), ruangan ini juga polos tanpa kamar yang berfungsi sebagai ruang tamu perempuan,yang luasnya juga sama dengan seramoe keu ruangan ini untuk kaum perempuan juga digunakan untuk ruang belajar mengaji anak perempuan dan bila tamu yang datang perempuan maka tempat musyawarah ataupun tempat tidur para tamu juga tempat makan bersama untuk orang perempuan jadi di Aceh tamu laki-laki dan perempuan tidak disatukan
nama rumah adat aceh dan keterangannya fungsi dan deskripsinya

Bangunan Rumah Aceh untuk memperkuat tidak menggunakan paku, tetapi menggunakan bahan pengikat dari tali ijok, rotan (awe) untuk pengikat atap yang pada umumnya dari dari rumbia dan ada juga yang menggunakan daun kelapa dan bila didalam rumah idak pernah terasa panas sauna didalam rumah selalu dingin dan bila hujan deraspun tidak pernah kedengaran bising. Rumah Aceh kalaupun tidak menggunakan paku dan terbuat dari kayu namun bisa bertahan hingga ratusan tahun.Pengaruh keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya dapat dilihat pada orientasi rumah yang selalu berbentuk memanjang dari timur ke barat, yaitu bagian depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang yang sakral berada di barat. Arah Barat mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner dengan Ka’bah yang berada di Mekkah. Selain itu, pengaruh keyakinan dapat juga dilihat pada penggunaan tiang-tiang penyangganya yang selalu berjumlah genap, jumlah ruangannya yang selalu ganjil, dan anak tangganya yang berjumlah ganjil. Selain sebagai manifestasi dari keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap lingkungannya, keberadaan rumoh Aceh juga untuk menunjukan status sosial penghuninya. Semakin banyak hiasan pada rumoh Aceh, maka pastilah penghuninya semakin kaya. Bagi keluarga yang tidak mempunyai kekayaan berlebih, maka cukup dengan hiasan yang relatif sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali.Wujud dari arsitektur rumah Aceh kearifan dalam menyikapi alam dan keyakinan regiulitas masyarakat Aceh. Arsitek rumah yang menggunakan kayu bahan dasar dan berbentuk panggung merupakan bentuk adaptasi masyarakat terhadap lingkungannya. Secara kolektif struktur rumah panggung memberikan nilai positif terhadap sosial dan kenyaman tersendiri bagi penghuninya, selain itu juga menjamin keamanan dari banjir, binatang dan ketertiban juga keselamatan. Adanya bagian ruang yang berfungsi sebagai ruang-ruang privat, seperti rumoh inong, ruang publik, seperti serambi depan, dan ruang khusus perempuan, seperti serambi belakang merupakan usaha untuk menanamkan dan menjaga nilai kesopanan dan etika bermasyarakat. Keberadaan tangga untuk memasuki rumoh Aceh bukan hanya berfungsi sebagai alat untuk naik ke dalam rumah, tetapi juga berfungsi sebagai titik batas yang hanya boleh didatangi oleh tamu yang bukan anggota keluarga atau saudara dekat. Apabila dirumah tidak ada anggota keluarga yang laki-laki, maka (pantang dan tabu) bagi tamu yang bukan keluarga dekat (baca: muhrim) untuk naik ke rumah. Dengan demikian, reunyeun juga memiliki fungsi sebagai alat kontrol sosial dalam melakukan interaksi sehari-hari antar masyarakat.
Ciri Khusus rumah adat Nanggroe Aceh Darussalam yaitu terdapat beberapa motif hiasan yang dipakai antara lain:
  1. Motif hias atau ukiran-ukiran keagamaan yang diambil dari ayat-ayat al-Quran;
  2. Motif Flora seperti tumbuh-tumbuhan baik berbentuk daun, akar, batang, ataupun bunga-bungaan. Ukiran berbentuk stilirisasi tumbuh-tumbuhan ini tidak diberi warna, jikapun ada, warna yang digunakan adalah merah dan hitam. Ragam hias ini biasanya terdapat pada rinyeuen (tangga), dinding, tulak angen, kindang, balok pada bagian kap, dan jendela rumah;
  3. Motif fauna yang biasanya digunakan adalah binatang-binatang yang sering dilihat dan disukai; Motif alam digunakan oleh masyarakat Aceh di antaranya adalah: langit dan awannya, langit dan bulan, dan bintang dan laut; dan motif lainnya, seperti rantee, lidah, dan lain sebagainya.
Bagi Masyarakat Aceh membangun rumah artinya membangun kehidupan karena untuk membangun harus memenuhi beberapa persyaratan melalui thapan anatara lain harus menunggu pilihan hari baik yang ditentukan oleh Teuku (ulama setempat), harus peusijuk dengan nasi ketan, pengadaan kayu pilihan, kanduri dan lin sebagainya. Musyawarah dengan keluarga dan bergotong royong dalam proses pembangunan merupakan upaya menumbuhkan solidaritas antara sesama dan penghormatan kepada adat yang berlaku. Dengn bekerja sama permaslahan dapat diatasi dan keharmonisan tetap terjaga.maka rumah yang dibangun diharapkan dapat memberikan keamanan dan keteraman jamani dan rohani.

Rumah Adat Aceh dan Keunikannya

Keunikan rumah Aceh terletap pada atapnya, untuk pengikat tali hitam atau tali ijuk mempunyai yang untuk penahan atap yang diikat tidak bersambung mempunyai kegunaan yang sangat berati, misalnya saat terjadi musibah kebakaran pada bagian atap maka pemilik rumah hanya memotong satu tali saja sehingga seluruh atap rumah yang terhubung atau terpusat pada tali ijok langsung jatuh atau roboh jadi terhindar dari kebakaran kayu dan dapat meminimalisir dampk dari musibah yang terjadi. Pembanguna rumah Aceh harus menghadap utara dan selatan ini dimaksudkan agar sinar cahaya nmatahari mudah masuk kekamar baik yang berada disisi timur ataupun sisi barat, jika ada rumah Aceh yang menghadap kearah barat atau timur maka akan mudah roboh karena menentang arah angin. Namun saat ini, seiring perkembangan zaman yang menuntut semua hal dikerjakan secara efektif dan efisien serta semakin mahalnya biaya pembuatan dan perawatan rumoh Aceh, maka lambat laun semakin sedikit orang Aceh yang membangun rumah tradisional ini. Akibatnya, jumlah rumoh Aceh semakin hari semakin sedikit.Masyarakat lebih memilih untuk membangun rumah modern berbahan beton yang pembuatan dan pengadaan bahannya lebih mudah dari pada rumoh Aceh yang pembuatannya lebih rumit, pengadaan bahannya lebih sulit, dan biaya perawatannya lebih mahal. Namun, ada juga orang-orang yang karena kecintaannya terhadap arsitektur warisan nenek moyang mereka ini membuat rumoh Aceh yang ditempelkan pada rumah beton mereka.Sumber Masyarakat Aceh,pemandu Museum Aceh.
 
contoh gambar rumah adat daerah istimewa aceh dan penjelasannya
 
 
 
 
 Sumber :http://rumahadatistiadat.blogspot.co.id/2017/08/rumah-adat-aceh-sejarah-ciri-khas-dan.html
 
 

Kesenian Daerah Jambi

Tari Sekapur Sirih ini diciptakan oleh Firdaus Chatab pada tahun 1962, kemudian ditata ulang oleh OK Hendri BBA pada tahun 1967. tari ini digunakan untuk menyambut tamu yang dihormati sebagai ungkapan rasa putih hati dalam menyambut tamu, dan ditarikan oleh penari remaja putri.


Seni Musik

Pada mulanya seni musik daerah jambi  merupakan seni musik yang masih bersifat tradisional. Namun seiring perkembangan zaman, maka alat-alat musik sudah banyak banyak memakai alat-alat musik modern. Akan tetapi alat-alat musik tradisional masih dipergunakan. Bahkan berusaha untuk dipertahankan.Jenis-jenis alat musik tradisional Jambi yang masih dipertahankan sampai saat ini adalah sebagai berikut;

a. Genggong


b. Gendang



c. Tabuh


Seni Suara

Pada setiap kabupaten dan kota mempunyai ragam seni suara dengan syair dan khas daerah masing-masing, namun sesuainamun seni suatu daerah kini semakin usang dan tidak dikenal, karena telah dilanda dengan kehadiran lagu-lagu dangdut dan lagu pop. Namun demikian setiap daerah berusaha untuk kembali menghidupkan lagu-lagu daerah tersebut melalui rekaman, sehingga diharapkan nantinya dapat kembalai hidup dan dikenal oleh masyarakat, Beberapa jenis seni suara dari tiap-tiap daerah.

KULINER

Berbicara mengenai masakan khas daerah tentunya Indonesia dilimpahi oleh kuliner tradisional yang tak ada habisnya,  masakan khas yang Salah satunya adalah masakan khas asal Jambi yaitu;

1.      Tempoyak,Gulai tepe ikan,dan pindang ikan.
Tempoyak
Gulai Tepe Ikan








   Pinda ikan



Sumber : http://diansilva2.blogspot.co.id/2015/01/kesenian-dan-budaya-jambi.html

Kesenian Daerah Riau


Kesenian dan Kebudayaan Riau, Rumah Adat Riau, Pakaian Adat Riau, Senjata Tradisional Riau, Tari Tradisional, Alat Musik Tradisional Riau

KESENIAN DAN KEBUDAYAAN RIAU


Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan dengan memiliki banyak pulau yang tersebar membentang di dunsantara ini mulai dari sabang sampai merauke. Dengan banyaknya pulau tersebut menyebabkan tumbuhnynya berbagai macam kebudayaan dan kesenian yang berbeda-beda dari masing-masing daerah. Riau adalah salah satu provinsi yang ada di Indonesia, terletak di dalam sumatera berbatasan dengan provinsi Sumatera Barat.

Riau juga memiliki seni budaya  tersendiri yang merupakan ciri khas, kebudayaan yang ada di Riau memiliki ciri khas sebagai kebudayaan melayu. Adat dan kebudayaan melayu yang mengatur tingkah laku dan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat yang tinggal dan berasal dari daerah ini.
Berikut beberapa kebudayaan dan kesenian yang ada di Riau :

1. Pakaian Adat
Pakaian Adat Riau
Baju untuk laki-laki Melayu Riau adalah Baju Kurung Cekak Musang atau Baju Kurung Teluk Belanga. Selain Baju Kurung Cekak Musang, busana pengantin laki-laki adalah kain samping bermotif serupa dengan celana dan baju, distar berbentuk mahkota dipakai di kepala, sebai warna kuning di bahu kiri, rantai panjang berbelit dua yang dikalungkan di leher, canggai yang dipakai di kelingking, sepat runcing di bagian depan, dan keris hulu burung serindit pendek yang diselipkan di sebela kiri. Sementara busana yang dikenakan perempuan berbeda-beda, perempuan memakai Baju Kurung Kebaya atau Kebaya Pendek. Kepala hanya memakai sanggul yang dihiasi dengan bunga-bunga. Pakaian pengantin perempuan pada Upacara Akad Nikah adalah Baju Kebaya Laboh atau Baju Kurung teluk. Kemudian, untuk pakaian pada waktu upacara Bersanding adalah Kebaya Laboh atau Baju Kurung Teluk Belanga.


2. Senjata Tradisional Riau
Senjata Tradisional Riau
Badik Tumbuk Lado merupakan senjata tradisional yang berasal dari Kepulauan Riau. Badik sendiri merupakan sebutan untuk senjata tradisional yang dikenal di kalangan masyarakat bugis dan beberapa daerah di Sumatera. Sedangkan, Tumbuk Lada atau Tumbuk Lado (Riau) adalah senjata tradisional masyarakat Melayu dan masyarakat Semenanjung Melayu. Tak heran jika Badik Tumbuk Lado memiliki kemiripan dengan senjata dari daerah di semenanjung melayu lainnya bahkan dengan negara tetangga Malaysia. Kepulauan Riau ditinggali oleh berbagai ras dan etnis. Akan tetapi, mayoritas penduduk asli adalah bangsa melayu. Oleh karena itu, kebudayaan dari daerah Riau ini banyak memiliki kesamaan dengan wilayah yang berpenduduk asli melayu lainnya.

Badik Tumbuk Lado adalah sejenis senjata tikam berukuran 27 sampai 29 cm dan lebarnya sekitar 3.5 sampai 4 cm. senjata ini tidak hanya dipakai oleh masyarakat Jambi, dan juga memiliki kesamaan dengan badik Bugis hanya berbeda dalam bentuk dan motif sarung badiknya saja. Tidak hanya di dalam negeri, Malaysia juga memiliki senjata tardisional yang sama, baik secara nama dan bentuk. Hal ini tidak terlepas dari latar belakang masyarakat melayu yang tersebar di indonesia, Malaysia, Filipina, Vietnam dan sepanjang semenanjung Melayu. Sama halnya dengan keris, badik juga merupakan salah satu identitas yang mencirikan bangsa Melayu.

Tidak diketahui kapan pastinya awal mula Badik Tumbuk Lado digunakan sebagai senjata oleh orang Melayu. Akan tetapi, sejak dulu orang Melayu terutama masyarakat Melayu kepulauan Riau menggunakan Badik Tumbuk Lado untuk berburu dan mempertahankan diri dari serangan musuh. Selain itu, Badik Tumbuk Lado juga mempunyai fungsi estetis yakni badik biasanya digunakan sebagai pelengkap baju adat pria Melayu terutama saat pesta pernikahan. Bukan hanya berfungsi sebagai pelengkap baju adat saja, badik tumbuk lado juga menyimbolkan keperkasaan dan kegagahan seorang pria. Sebetulnya, filosofi Badik Tumbuk Lado tidak jauh berbeda dengan keris jika keris seringkali disebutkan sebagai symbol pemersatu bangsa Melayu. Badik pun begitu, karena pada hakikatnya senjata dibuat sebagai alat yang memudahkan manusia juga sebagai lambang keberanian bukan sebagai simbol permusuhan.

Sampai saat ini Badik Tumbuk Lado masih digunakan oleh masyarakat kepulauan Riau untuk melakukan kerja produksi seperti bercocok tanam atau berburu. Beberapa adat setempat juga masih mempertahankan badik sebagai pelengkap busana adat pria. Hanya saja, saat ini badik sudah tidak lagi sebagai senjata tajam yang berfungsi dalam perkelahian. Kini, masyarakat melayu sudah memfungsikan Badik untuk fungsi-fungsi lain. Selain karena sekarang sudah banyak senjata yang lebih modern, Badik Tumbuk Lado juga dianggap sudah tidak praktis lagi menjadi barang bawaan.


3. Tari Tradisional
Tari Tradisional Riau
Tari Tandak adalah salah satu tarian tradisional yang berasal dari daerah Riau dan Kepulauan Riau. Tarian ini tergolong tarian pergaulan yang biasanya ditampilkan oleh para penari pria dan penari wanita. Dengan berbusana tradisional melayu mereka menari dengan gerakannya yang khas dan diiringi oleh lagu dan alunan musik pengiring. Tari Tandak ini merupakan salah satu tarian tradisional yang cukup terkenal di daerah Riau dan Kepulauan Riau. Tarian ini biasanya sering ditampilkan di berbagai acara, baik acara adat maupun acara budaya yang diselenggarakan di sana.

Sejarah Tari Tandak
Menurut sejarahnya, Tari Tandak sudah ada sejak zaman dahulu kala. Tarian ini awalnya merupakan suatu tradisi masyarakat yang dilakukan untuk mempertemukan para pemuda-pemudi dan menjadi media untuk saling mengenal serta bersilaturahmi. Sehingga tak jarang juga dari mereka yang mengikuti Tari Tandak ini bisa sekaligus mencari jodoh atau pasangan hidupnya.

Tari Tandak dulunya bahkan juga dilaksanakan secara rutin setiap tahunnya, terutama pada bulan juli-oktober dimana pada bulan tersebut para petani selesai panen. Acara tersebut biasanya ditampilkan pada malam hari dan dipimpin oleh Kepala Ngejang selaku pemimpin tari. Namun seiring dengan perkembangan zaman, tradisi tersebut mulai luntur. Dan untuk menjaga tarian tersebut agar tetap lestari, Tari Tandak kemudian dikembangkan menjadi tarian pertunjukan.

Fungsi Dan Makna Tari Tandak
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, Tari Tandak lebih difungsikan sebagai media bertemu, bersilaturahmi serta saling mengenal oleh masyarakat terutama para pemuda dan pemudi. Selain itu tarian ini juga bisa menjadi suatu hiburan bagi masyarakat saat merayakan sesuatu. Bagi masyarakat di sana, Tari Tandak dimaknai sebagai ungkapan kegembiraan dan rasa sukur. Serta menggambarkan keakraban dan ikatan yang terjalin diantara mereka.

Pertunjukan Tari Tandak

Dalam pertunjukannya, Tari Tandak biasanya ditampilkan secara berpasangan oleh para penari pria dan wanita. Untuk jumlah para penari biasanya terdiri dari 4 pasang atau lebih penari pria dan wanita. Dengan berbusana khas melayu, penari menari dengan gerakannya yang khas sambil diiringi oleh lantunan syair atau lagu dan alunan musik pengiring.
Gambar : Tari Tandak
Gerakan dalam Tari Tandak merupakan gerakan yang dinamis. Gerakan dalam tarian ini lebih didominasi oleh gerakan kaki dan tangan yang bergerak lincah. Selain itu dalam tarian ini juga terdapat beberapa gerakan seperti pencak silat, serta gerakan-gerakan gaya melayu sumatera yang khas. Apabila kita perhatikan lebih cermat, setiap gerakan dalam tarian ini memiliki makna khusus di dalamnya.

Pengiring Tari Tandak

Dalam pertunjukan Tari Tandak biasanya diiringi oleh alat musik tradisional seperti rebana, kordeon, dan beberapa alat musik tradisional Riau lainnya. Selain itu tarian ini juga diiringi oleh lantunan syair, pantun dan lagu yang berirama melayu. Untuk gerakan Tari Tandak biasanya disesuaikan irama lagu atau musik yang dimainkan.

Kostum Tari Tandak

Kostum yang digunakan para penari dalam pertunjukan Tari Tandak biasanya merupakan busana tradisional. Untuk busana penari pria biasanya menggunakan baju berlengan panjang dan celana panjang. Serta dilengkapi dengan kain yang dikenakan di pinggang, peci (penutup kepala), dan sarung yang digunakan untuk menari. Sedangkan untuk penari wanita biasanya menggunakan busana kebaya dan kain panjang pada bagian bawah. Selain itu penari wanita juga dilengkapi dengan aksesoris seperti hiasan kepala, gelang, kalung, dan pernak-pernik lainnya sebagai pemanis.
4. Alat Musik Tradisional

Rebana Ubi
Rebana ubi digunakan sebagai alat komunikasi sederhana pada zaman itu karena bunyinya yang cukup keras. Jumlah pukulan pada rebana ubi memiliki makna tersendiri yang telah dipahami oleh masyarakt saat itu
Alat Musik Tradisional Riau Rebana Ubi

Kordeon
Kordeon adalah alat musik yang berasal dari Riau. Alat musik ini bisa dimainkan dengan cara dipompa. Alat musik ini termasuk sulit untuk dimainkan. Tidak banyak yang dapat memainkannya.

Alat Musik Tradisional Riau Kordeon

5. Makanan Khas Riau
Riau memiliki makanan khas yang banyak disukai oleh wisatawan lokal maupun wisatawan manca negara yang berkunjung ke daerah ini. Makan khasnya seperti Bolu Kemojo, Lempuk Durian, Es Laksamana Mengamuk, Roti Jala, Kue Bangkit dan masih banyak yang lain

Bolu Kemejo


Diatas merupakan beberapa kesenian dan kebudayaan yang saya sebutkan yang ada di daerah Riau. Masih banyak kesenian dan kebudayaan yang ada di daerah tersebut. Untuk mengetahui kesenian dan kebudayaan yang lain bisa kita cari dengan membrowsing internet. Dengan kemajuan teknologi yang makin mutahir, informasi apapun yang kita cari dengan sekejab akan tertemu dengan cepat. Dengan mengetahui kesenian dan kebudayaan yang ada di Indonesia bisa menimbulkan rasa cinta dan bangga akan negri kita ini, karena keaneka ragaman yang ada di negara ini yang membuat kagum. Dan sebagai seorang penerus bangsa yang baik alangkah baiknya kita menjaga dan melestarikan kesenian dan kebudayaan yang sudah ada sejak jaman dahulu agar kesenian dan kebudayaan tersebut tidak punah di makan oleh jaman yang makin lama makin maju.
 
Sumber :http://carinilaibagus.blogspot.co.id/2016/08/kesenian-dan-kebudayaan-riau-rumah-adat.html