Pakaian Adat Melayu Sumatera Utara
Tradisi Melayu menempatkan upacara pernikahan sebagai peristiwa yang
penting. Pada upacara ini wanita Melayu memakai kebaya panjang atau baju
kurung yang terbuat dari jenis kain yang bermutu tinggi seperti brokat
atau sutra bersematkan peniti-peniti emas. Baju kurung ini dipadukan
dengan kain songket buatan Batubara atau tenunan Malaysia. Bagian kepala
dibalut dengan selendang bersulam corak-corak emas yang menutupi rambut
dalam gaya sanggul khusus yaitu sanggul lipat padan atau sanggul tegang. Pada sanggul ini ditempatkan hiasan-hiasan keemasan.
Sumber : Muhammadimin20 |
Di bagian leher dan dada biasanya tergantung kalung bercorak rantai
mentimun, sekar sukun, rantai serati, mastura, gogok rantai lilit,
rantai panjang dan tanggang, walaupun dewasa ini sudah sangat jarang
dijumpai. Gelang juga dipakai pada kaki. Pengantin wanita juga memakai
gelang kerukut yang beraneka jenis,seperti gelang tepang, gelang kana, gelang ikal dan keroncong. Pada jari terpasang aneka ragam cincin, seperti cincin genta, cincin bermata, cincin patah biram, dan cincin pancaragam. Sebagai alas kaki dipakai selop bertekad yaitu sejenis sandal bersulam corak-corak keemasan. Bagian pinggang dihiasi dengan bengkong dan pending.
Kaum pria adat Melayu memakai dua pilihan penutup kepala, yaitu tengkulok yang terbuat dari kain songket, kain bertabur atau destar. Tengkulok adalah lambang kebesaran dan kegagahan seorang pria Melayu. Penutup kepala yang sejak dahulu dipakai disebut destar.
Destar terbuat dari rotan yang berbentuk parabola, berlapis tiga dan
dibalut dengan beludru atau kain berwarna kuning. Baju yang dipakai kaum
pria adalah teluk belanga yang terdiri atas baju berkrah
kocak musang, berseluar (celana panjang) bersamping. Teluk belanga
terbuat dari kain yang bermutu seperti satin dan sutra.
Alas kaki berupa selop sewarna dengan baju. Pada leher pria digantungkan beberapa hiasan rantai. Lengan atasnya mengenakan kilat bahu dan sidat sebagai lambang keteguhan hati. Pada bagian pinggang dipakai bengkong dan pending.
Pada pinggang depan sebelah kanan disisipkan sebilah keris yang
bergagang emas. Keris dianggap sebagai lambang kegagahan dan kemampuan
menghadapi masadepan yang penuh tantangan.
Sumber : Buku Selayang Pandang Sumatera Utara : Purwati |
Pakaian Adat Batak Sumatera Utara
Kehidupan masyarakat Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Batak, tidak terlepas dari ulos.
Ulos digunakan dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam berbagai
upacara adat. Tenunan ulos merupakan kerajinan yang menarik dari
Provinsi Sumatera Utara, terutama tenunan kain ulos dan kain songket.
Sebelum masyarakat batak mengenal tektil buatan luar, ulos adalah
pakaian sehari-hari mereka. Apabila dipakai oleh kaum laki-laki bagian
atasnya disebut hande-hande, sedangkan bagian bawahnya disebut singkot. Sebagai penutup kepala disebut tali-tali, bulang-bulang, atau detar.
Sumber : Tradisikita |
Ada beberapa jenis ulos batak yang hanya dipakai pada acara tertentu, misalnya ulos jugjaragidup, sadum, ragihotang, dan runjat.
Kain ulos yang dipakai orang Batak pada upacara-upacara adat, umumnya
diselempangkan kepinggangnya atau juga sebagai selendang. Khusus pada
suku Batak Pakpak atau Dairi, ulos yang digunakan dominan berwarna
hitam.
Sementara itu, suku Batak Toba biasanya menggaunakan baju dan celana yang dilengkapi dengan ulos maringin di kepala dan setengah badan. Kadang-kadang juga menggunakan ulos ragihotang yang diselempangkan dan dilengkapi dengan sarung.
Dalam upacara adat perkawinan kain ulos lebih tampak pada pakaian pengantin. Pengantin pria memakai baju jas tutup warna putih, sedangkan bagian bawah memakai ulos ragi pane. Pakaian perempuan Batak toba bagian bawahnya disebut haen yang dipakai hingga batas dada. Penutup punggung disebut hoba-hoba. Bila dipakai sebagai selendang disebut ampe-ampe. Penutup bagian kepala disebut saong. Sementara itu pakaian perempuan Batak karo terdiri atas baju tutup lengan panjang, sedangkan bagian bawahnya mengenakan sarung sungkit yang dililit kain ulos.
Menurut adat dalam pesta perkawinan, wanita suku Mandailing/ Angkola menggunakan tata busana terdiri atas bulang yang diikatkan ke kening. Bulang tersebut terbuat dari emas, tetapi sekarang sudah banyak yang terbuat dari logam dengan sepuhan emas. Bulang terdiri atas tiga macam, yaitu bertingkat tiga (bulang harbo/ bulang kerbau), bertingkat dua (bulang hambeng/ bulang kambing), dan tidak bertingkat. Bulang mengandung makna sebagai lambang kebesaran atau kemuliaan sekaligus sebagai simbol dari struktur masyarakat.
Bagian atas badan wanita tertutup oleh baju berwarna hitam yang dahulu terbuat dari kain beludru berbentuk baju kurung tanpa diberi hiasan atau sulaman. Baju pengantin ini disebut juga baju godang atau baju kebesaran. Bagian bawah badan tertutup kain songket dengan warna yang tidak ditentukan.
Dua lembar selendang disilangkan pada dada sampai punggung. Untuk selendang pengantin, kadang menggunakan kain polos tanpa warna tertentu. Selendang pengantin tersebut merupakan lambang dalihana tolu, tampak dari segitiga yang dibentuk dengan selendang yang disilangkan itu. Sisi kiri melambangkan mora (kerabat pemberi anak gadis), sisi kanan melambangkan kahanggi (kerabat satu marga), dan bagian bawah melambangkan anak boru (kerabat penerima gadis).
Pengantin pria menggunakan pakaian yang terdiri atas ampu atau penutup kepala dengan bentuk khas Mandailing/ Angkola yang terbuat dari kain dan bahan lain. Ampu merupakan mahkota yang biasanya digunakan raja-raja di Mandailing dan Angkola pada masa lalu. Warna hitam ampu mengandung fungsi magis, sedangkan warna emas mengandung lambang kebesaran. Bagian kanan ampu yang salah satu ujungnya menghadap ke atas dan satu lagi ke bawah mengandung arti bahwa yang paling berkuasa adalah Tuhan dan manusia pada akhirnya mati dan dikubur. Pada masa sekarang pengantin pria menggunakan jas biasa berwarna hitam yang dilengkapi dengan kemeja lengan panjang dan dasi.
Sumber : Buku Selayang Pandang Sumatera Utara : Purwati |
Pakaian Adat Nias Sumatera Utara
Masyarakat Nias di pantai selatan Sumatera memiliki variasi pakaian
tradisional yang menambah keanekaragaman pakaian adat suku-suku bangsa
di Provinsi Sumatera Utara.
Dalam Upacara adat pakaian yang dikenakan kaum laki-laki Nias terdiri atas baru atau
baju yang terbuat dari bahan kulit kayu. Baju berbentu rompi tanpa
kancing ini berwarna dasar coklat atau hitam dengan ornamen berwarna
merah, kuning, dan hitam. Salah satu jenis baru yang dikenal masyarakat Nias adalah baru ni'ola'a harimao,
yaitu baju dengan motif kulit harimau. Selain model rompi, ada juga
baju berlengan tanpa kancing yang terbuat dari kulit kayu, yaitu baru lema'a.
Sumber : Setarapost |
Laki-laki Nias kebanyakan menggunakan kalabubu sebagai penghias leher. Kalabubu adalah
kalung untuk pria yang terbuat dari kuningan dan dilapisi dengan
potongan kayu kelapa (aslinya dilapisi dengan emas). Jenis kalung
lainnya adalah nifatali dan nifato-fato. Nifatali terbuat dari lilitan emas atau perak. Sedangkan nifato-fato terbuat dari lempengan kuningan, perak atau emas. Sementara itu, salah satu penutup kepala untuk perang disebut tetenaulu yang
terbuat dari rajutan rotan yang dilengkapi daun pelem sebagai penutup
bagian belakang. Ada juga penutup kepala yang disebut takula yang terbuat dari daun pelem, rotan dan pelepah kelapa.
Pakaian asli wanita suku Nias hanya terdiri dari lembaran kain (blacu
hitam atau kulit kayu), tanpa busana atas(baju penutup dada). Pakaian
ini dilengkapi dengan aja kola dan saro dalinga. Aja kola adalah gelang yang terbuat dari bahan gulungan kuningan dengan berat mencapai satu kilogram. Sedangkan saro delinga yaitu anting logam besar yang hanya dipakai pada telinga kanan saja.
Untuk menghadiri upacara adat, biasanya dikenakan baju berbentuk jaket
atau jubah berbahan katun, yang berwarna merah, berlengan kuning dihias
motif sisir berwarna hijau atau kehitaman. Pakain ini dilengkapi dengan balahogo sokondra,yaitu
salah satu jenis penutup baju bagian atas (seperti kalung) yang terbuat
dari batu-batuan. Bagian bawah pakaian wanita Nias disebut mukha. Untuk melengkapi pakaian ini terdapat pula sebuah selendang yang diberi nama lembe, yaitu selendang katun bermotif bunga berwarna kuning dan segitiga berbaris dilapisi pinggir dari bahan berwarna kehitaman.
Sebagai kelengkapan pakaian upacara, wanita Nias memakai beberapa jenis aksesoris. Gela gela atau tali hu adalah
jenis anting yang digunakan masyarakat kebanyakan. Anting tersebut
terbuat dari bahan perunggu dengan hiasan batu-batuan atau kerang. Fondruru ana'a adalah jenis anting yang terbuat dari emas yang banyak digunakan oleh kaum bangsawan. Demikian juga ra ni woli woli, salah
satu jenis mahkota yang terbuat dari emas berbentuk ikat kepala dengan
ornamen barisan koin emas memanjang horizontal dan di tengah bagian
belakang terdapat kepala mahkota berbentuk bunga dan daun-daunan.
Secara keseluruhan pakaian pengantin Nias tampak sederhana. Hal tersebut
juga menggambarkan kehidupan masyarakatnya yang bersahaja. sebelum
mengenal pengaruh dari luar, dahulu pakaian tradisional Nias terbuat
dari bahan kulit kayu. Namun, kini pakaian pengantin telah menggunakan
bahan beludru. Warna hitam, merah, kuning, emas mendominasi pakaian adat
pengantin Nias. Dalam pakaian adat pengantin ini tampak adanya pengaruh
unsur-unsur Melayu.
Rambut wanita Nias disanggul tanpa sasak dengan memakai sunggar.
Kemudian, dihiasi dengan mahkota atau rai. Baju berbentuk jubah hitam
yang berhiaskan motif binatang dari beludru merah tersebut dipadukan
dengan kabo, kain hitam dengan ornamen geometris segitiga
berbaris di sisi pinggirnya, yang disarungkan ke kiri. Untuk
kelengkapannya mempelai wanita mengenakan seledang (selendang) dan boba datu (ikat pinggang). Perhiasan yang digunakan adalah sialu fondreun (anting-anting), alga kala bubu (kalung), dan gala (gelang).
Sumber : Buku Selayang Pandang Sumatera Utara : PurwatSumber : https://fitinline.com/article/read/pakaian-tradisional-sumatera-utara/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar