Rumah Adat Aceh, Sejarah, Ciri Khas dan Penjelasan Maknanya
RUMAH ADAT ACEH atau sering disebut dengan nama Rumoh Aceh adalah bentuk rumah tinggal tradisional orang Aceh pada masa lalu.
Saat ini, Rumoh Aceh sudah semakin langkah, namun dapat dilihat di
komplek Kantor Museum Aceh di Kota Banda Aceh, dan di Taman Mini
Indonesia Indah (TMII) Jakarta, serta Rumah Cut Nyak Dhien yang ada di
Desa Lampisang, 10 km dari pusat Kota Banda Aceh.
Jika Anda berkunjung ke Rumah Aceh yang terletak di komplek Museum Aceh
banyak terdapat barang-barang peninggalan tempo dulu yang sering
digunakan oleh orang Aceh diantaranya pedeung on jok, jingki, guci,
Berandam atau Tempat menyimpan padi dll. Jika anda ke Banda Aceh jangan
lupa untuk datang mengunjungi dan saksikan keadaan rumah Adat Aceh tempo
dulu. Ciri khas rumah adat Aceh ini terdiri dari 44 tiang dan mempunyai 2 tangga depan dan belakang.
1.Asal-Usul Rumah Adat Aceh
Kepercayaan individu atau masyarakat yang hidup mempunyai pengaruh
signifikan terhadap bentuk arsitektur bangunan, rumah, yang dibuat. Hal
ini dapat dilihat pada arsitektur Rumoh Aceh, Provinsi, Nanggrou Aceh
Darussalam. Pada umumnya Rumoh Aceh merupakan rumah panggung dengan
tinggi tiang antara 2,50 – 3 meter, terdiri dari tiga atau lima ruang,
dengan satu ruang utama yang dinamakan rambat. Rumoh dengan tiga ruang
memiliki 16 tiang, sedangkan Rumoh dengan lima ruang memiliki 24 tiang.
Modifikasi dari tiga ke lima ruang atau sebaliknya bisa dilakukan dengan
mudah, tinggal menambah atau menghilangkan bagian yang ada di sisi kiri
atau kanan rumah. Bagian ini biasa disebut seramoe likot atau serambi
belakang dan seramoe reunyeun atau serambi bertangga, yaitu tempat masuk
ke Rumah yang selalu berada di sebelah timur. Pintu utama Rumoh Aceh
tingginya selalu lebih rendah dari ketinggian orang dewasa. Biasanya
ketinggian pintu ini hanya berukuran 120-150 cm sehingga setiap orang
yang masuk ke Rumoh Aceh harus menunduk. Namun, begitu masuk, kita akan
merasakan ruang yang sangat lapang karena di dalam rumah tak ada perabot
berupa kursi atau meja. Semua orang duduk bersila di atas tikar ngom
(dari bahan sejenis ilalang yang tumbuh di rawa) yang dilapisi tikar
pandan. Rumoh Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan
ekspresi keyakinan terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Oleh
karena itu, melalui Rumoh Aceh kita dapat melihat budaya, pola hidup,
dan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat Aceh.
Bagian-bagian dari Rumoh Aceh
Pada bagian bawah rumah disebut yubmoh yang dapat dipergunakan untuk
menyimpan berbagai macam benda, seperti Jeungki (alat penumbuk padi)
berandang (tempat menyimpan padi) dan juga difungsikan sebagai tempat
bermain anak-anak dan juga sering digunakan tempat ayunan anak-anak
bayi.
- Ruangan depan atau disebut dengan seramoe Keu (serambi depan), ruangan ini polos tanpa kamar yang berfunsi sebagai ruang tamu laki-laki, ruang belajar mengaji anak laki-laki pada malam atau siang hari juga tempat tidur tamu laki-laki. dan disaat-saat tertentu seperti upacara perkawinan ruangan ini juga berfungsi sebagai tempat jamuan makan bersama.
- Ruangan tengah atau seuramoe teungoh ini bagian inti dari rumoh Aceh dan sedikit lebih tinggi dari seramoe keu ini disebut rumoh inong (rumah induk) dan tempat ini dianggap suci karena bersifat sangat pribadi. Diruangan tengah ini terdapat dua bilik atau kamar yang berhadapan. Kedua kamar ini untuk tempat tidur kepala keluarga atau pemilik rumah, bila ada anak perempuan yang baru kawin maka dia akan menempati kamar ini dan orang tua akan pindah ke anjong.
- Ruangan Belakang atau disebut dengan seramoe Likoet (serambi belakang), ruangan ini juga polos tanpa kamar yang berfungsi sebagai ruang tamu perempuan,yang luasnya juga sama dengan seramoe keu ruangan ini untuk kaum perempuan juga digunakan untuk ruang belajar mengaji anak perempuan dan bila tamu yang datang perempuan maka tempat musyawarah ataupun tempat tidur para tamu juga tempat makan bersama untuk orang perempuan jadi di Aceh tamu laki-laki dan perempuan tidak disatukan
Bangunan Rumah Aceh untuk memperkuat tidak menggunakan paku, tetapi
menggunakan bahan pengikat dari tali ijok, rotan (awe) untuk pengikat
atap yang pada umumnya dari dari rumbia dan ada juga yang menggunakan
daun kelapa dan bila didalam rumah idak pernah terasa panas sauna
didalam rumah selalu dingin dan bila hujan deraspun tidak pernah
kedengaran bising. Rumah Aceh kalaupun tidak menggunakan paku dan
terbuat dari kayu namun bisa bertahan hingga ratusan tahun.Pengaruh
keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya dapat
dilihat pada orientasi rumah yang selalu berbentuk memanjang dari timur
ke barat, yaitu bagian depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau
belakang yang sakral berada di barat. Arah Barat mencerminkan upaya
masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner dengan Ka’bah yang berada
di Mekkah. Selain itu, pengaruh keyakinan dapat juga dilihat pada
penggunaan tiang-tiang penyangganya yang selalu berjumlah genap, jumlah
ruangannya yang selalu ganjil, dan anak tangganya yang berjumlah ganjil.
Selain sebagai manifestasi dari keyakinan masyarakat dan adaptasi
terhadap lingkungannya, keberadaan rumoh Aceh juga untuk menunjukan
status sosial penghuninya. Semakin banyak hiasan pada rumoh Aceh, maka
pastilah penghuninya semakin kaya. Bagi keluarga yang tidak mempunyai
kekayaan berlebih, maka cukup dengan hiasan yang relatif sedikit atau
bahkan tidak ada sama sekali.Wujud dari arsitektur rumah Aceh kearifan
dalam menyikapi alam dan keyakinan regiulitas masyarakat Aceh. Arsitek
rumah yang menggunakan kayu bahan dasar dan berbentuk panggung merupakan
bentuk adaptasi masyarakat terhadap lingkungannya. Secara kolektif
struktur rumah panggung memberikan nilai positif terhadap sosial dan
kenyaman tersendiri bagi penghuninya, selain itu juga menjamin keamanan
dari banjir, binatang dan ketertiban juga keselamatan. Adanya bagian
ruang yang berfungsi sebagai ruang-ruang privat, seperti rumoh inong,
ruang publik, seperti serambi depan, dan ruang khusus perempuan, seperti
serambi belakang merupakan usaha untuk menanamkan dan menjaga nilai
kesopanan dan etika bermasyarakat. Keberadaan tangga untuk memasuki
rumoh Aceh bukan hanya berfungsi sebagai alat untuk naik ke dalam rumah,
tetapi juga berfungsi sebagai titik batas yang hanya boleh didatangi
oleh tamu yang bukan anggota keluarga atau saudara dekat. Apabila
dirumah tidak ada anggota keluarga yang laki-laki, maka (pantang dan
tabu) bagi tamu yang bukan keluarga dekat (baca: muhrim) untuk naik ke
rumah. Dengan demikian, reunyeun juga memiliki fungsi sebagai alat
kontrol sosial dalam melakukan interaksi sehari-hari antar masyarakat.
- Motif hias atau ukiran-ukiran keagamaan yang diambil dari ayat-ayat al-Quran;
- Motif Flora seperti tumbuh-tumbuhan baik berbentuk daun, akar, batang, ataupun bunga-bungaan. Ukiran berbentuk stilirisasi tumbuh-tumbuhan ini tidak diberi warna, jikapun ada, warna yang digunakan adalah merah dan hitam. Ragam hias ini biasanya terdapat pada rinyeuen (tangga), dinding, tulak angen, kindang, balok pada bagian kap, dan jendela rumah;
- Motif fauna yang biasanya digunakan adalah binatang-binatang yang sering dilihat dan disukai; Motif alam digunakan oleh masyarakat Aceh di antaranya adalah: langit dan awannya, langit dan bulan, dan bintang dan laut; dan motif lainnya, seperti rantee, lidah, dan lain sebagainya.
Bagi Masyarakat Aceh membangun rumah artinya membangun kehidupan karena
untuk membangun harus memenuhi beberapa persyaratan melalui thapan
anatara lain harus menunggu pilihan hari baik yang ditentukan oleh Teuku
(ulama setempat), harus peusijuk dengan nasi ketan, pengadaan kayu
pilihan, kanduri dan lin sebagainya. Musyawarah dengan keluarga dan
bergotong royong dalam proses pembangunan merupakan upaya menumbuhkan
solidaritas antara sesama dan penghormatan kepada adat yang berlaku.
Dengn bekerja sama permaslahan dapat diatasi dan keharmonisan tetap
terjaga.maka rumah yang dibangun diharapkan dapat memberikan keamanan
dan keteraman jamani dan rohani.
Rumah Adat Aceh dan Keunikannya
Keunikan rumah Aceh terletap pada atapnya, untuk pengikat tali hitam
atau tali ijuk mempunyai yang untuk penahan atap yang diikat tidak
bersambung mempunyai kegunaan yang sangat berati, misalnya saat terjadi
musibah kebakaran pada bagian atap maka pemilik rumah hanya memotong
satu tali saja sehingga seluruh atap rumah yang terhubung atau terpusat
pada tali ijok langsung jatuh atau roboh jadi terhindar dari kebakaran
kayu dan dapat meminimalisir dampk dari musibah yang terjadi. Pembanguna
rumah Aceh harus menghadap utara dan selatan ini dimaksudkan agar sinar
cahaya nmatahari mudah masuk kekamar baik yang berada disisi timur
ataupun sisi barat, jika ada rumah Aceh yang menghadap kearah barat atau
timur maka akan mudah roboh karena menentang arah angin. Namun saat
ini, seiring perkembangan zaman yang menuntut semua hal dikerjakan
secara efektif dan efisien serta semakin mahalnya biaya pembuatan dan
perawatan rumoh Aceh, maka lambat laun semakin sedikit orang Aceh yang
membangun rumah tradisional ini. Akibatnya, jumlah rumoh Aceh semakin
hari semakin sedikit.Masyarakat lebih memilih untuk membangun rumah
modern berbahan beton yang pembuatan dan pengadaan bahannya lebih mudah
dari pada rumoh Aceh yang pembuatannya lebih rumit, pengadaan bahannya
lebih sulit, dan biaya perawatannya lebih mahal. Namun, ada juga
orang-orang yang karena kecintaannya terhadap arsitektur warisan nenek
moyang mereka ini membuat rumoh Aceh yang ditempelkan pada rumah beton
mereka.Sumber Masyarakat Aceh,pemandu Museum Aceh.
Sumber :http://rumahadatistiadat.blogspot.co.id/2017/08/rumah-adat-aceh-sejarah-ciri-khas-dan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar